Para pakar sudah lama mengingatkan bahaya yang mengancam Jakarta. Tetapi pemerintah lebih memperhatikan rekomendasi politik dan ekonomi. AMBLESNYA ruas Jalan Martadinata, Ancol, Jakarta Utara sepanjang 103 meter pada Kamis (16/9) menunjukkan Ibu Kota benar-benar rawan. Kalangan ahli kian risau karena ancaman Jakarta bakal tenggelam bukan isapan jempol jika tidak ada usaha serius mencegahnya.
Ekologis yang kritis sudah mengepung Jakarta. Abrasi yang terus menggerus diperparah dengan naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim. Di pihak lain, penyedotan air tanah dilakukan secara brutal terutama oleh hotel-hotel, mal, dan gedung-gedung megah, sedangkan ruang terbuka hijau sebagai area resapan semakin sempit.
Semua kondisi itu memperkuat perkiraan bahwa pada 2030, Jakarta, khususnya Jakarta Utara, akan tenggelam. "Jakarta sudah kritis," ungkap Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Ubaidillah, di Jakarta, kemarin.
Dia membeberkan riset ITB yang mengungkapkan laju penurunan muka tanah (subsiden) Jakarta meningkat tajam. Pada 1982-1992, penurunan muka tanah 0,8 cm per tahun. Namun, pada 2008 laju penurunan menjadi 18-26 cm per tahun.
Kawasan resapan yang minim juga menyebabkan setiap tahun Jakarta kekurangan 66,6 juta meter kubik air. Padahal total hujan di Jakarta mencapai 2 miliar meter kubik air setiap tahun. "Banyak air tidak dapat diserap karena tidak ada kawasan resapan," tegas Ubaidillah. Meski Jakarta Utara paling rawan, tidak berarti kawasan lain aman. Satu-satunya yang luput adalah Jakarta Selatan. Wilayah Jakarta Utara yang terancam ambles selain Jalan RE Martadinata di antaranya Kampung Bandan dan Tanjung Priok.
Di Jakarta Pusat adalah kawasan Jalan Thamrin dan Sudirman; Jakarta Barat kawasan Jalan Daan Mogot dan Kamal Muara, adapun Jakarta Timur kawasan industri Pulo Gadung dan Jalan Raya Bogor. Di kawasan Thamrin sejak tahun 2009 sudah diingatkan bahwa dalam delapan tahun terakhir penurunan permukaan tanah mencapai 20-40 cm.
Penurunan tanah juga diteliti Subandono Diposaptono, pakar kelautan dan pesisir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut dia, kawasan yang paling rawan adalah Semarang, Jateng, dan Jakarta. Penurunan tanah di Semarang mulai 0,5-14,8 cm, dengan rata-rata 5,15 cm per tahun.
Geolog dari Puslit Geoteknologi LIPI Wahyu S Hantoro mengatakan struktur tanah di Jakarta memang labil. Ironisnya, Jakarta tidak punya aturan pembangunan yang memperhatikan struktur tanah. Di sisi lain penyedotan air tanah dibiarkan begitu saja.
Solusi radikal
Meski pesimistis, mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan untuk mencegah Jakarta tenggelam diperlukan solusi radikal. Yakni menghentikan penyedotan air tanah. Dia pesimistis karena tidak ada perhatian ekstra dari Pemerintah DKI maupun pemerintah pusat.
Pemerintah tidak peduli dengan rekomendasi pakar. Yang diperhatikan adalah rekomendasi politik dan ekonomi. Maka pembangunan hotel, gedung, mal jalan terus meski menyedot air tanah dalam jumlah amat besar.
"DPR saja ingin membangun gedung yang besar. Taman di dekat kompleks DPR juga ingin dibangun pusat perbelanjaan," tutur Sonny.
Namun, Guru Besar Geodesi ITB Hasanuddin Abidin optimistis bisa mencegah Jakarta tenggelam dengan mengurangi penggunaan air tanah. Saat ini penggunaan air tanah di Jakarta mencapai 70%. Dia mengusulkan pencurian air tanah dikenai pasal korupsi.
Sumber: Mediaindonesia.com
Ekologis yang kritis sudah mengepung Jakarta. Abrasi yang terus menggerus diperparah dengan naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim. Di pihak lain, penyedotan air tanah dilakukan secara brutal terutama oleh hotel-hotel, mal, dan gedung-gedung megah, sedangkan ruang terbuka hijau sebagai area resapan semakin sempit.
Semua kondisi itu memperkuat perkiraan bahwa pada 2030, Jakarta, khususnya Jakarta Utara, akan tenggelam. "Jakarta sudah kritis," ungkap Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Ubaidillah, di Jakarta, kemarin.
Dia membeberkan riset ITB yang mengungkapkan laju penurunan muka tanah (subsiden) Jakarta meningkat tajam. Pada 1982-1992, penurunan muka tanah 0,8 cm per tahun. Namun, pada 2008 laju penurunan menjadi 18-26 cm per tahun.
Kawasan resapan yang minim juga menyebabkan setiap tahun Jakarta kekurangan 66,6 juta meter kubik air. Padahal total hujan di Jakarta mencapai 2 miliar meter kubik air setiap tahun. "Banyak air tidak dapat diserap karena tidak ada kawasan resapan," tegas Ubaidillah. Meski Jakarta Utara paling rawan, tidak berarti kawasan lain aman. Satu-satunya yang luput adalah Jakarta Selatan. Wilayah Jakarta Utara yang terancam ambles selain Jalan RE Martadinata di antaranya Kampung Bandan dan Tanjung Priok.
Di Jakarta Pusat adalah kawasan Jalan Thamrin dan Sudirman; Jakarta Barat kawasan Jalan Daan Mogot dan Kamal Muara, adapun Jakarta Timur kawasan industri Pulo Gadung dan Jalan Raya Bogor. Di kawasan Thamrin sejak tahun 2009 sudah diingatkan bahwa dalam delapan tahun terakhir penurunan permukaan tanah mencapai 20-40 cm.
Penurunan tanah juga diteliti Subandono Diposaptono, pakar kelautan dan pesisir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut dia, kawasan yang paling rawan adalah Semarang, Jateng, dan Jakarta. Penurunan tanah di Semarang mulai 0,5-14,8 cm, dengan rata-rata 5,15 cm per tahun.
Geolog dari Puslit Geoteknologi LIPI Wahyu S Hantoro mengatakan struktur tanah di Jakarta memang labil. Ironisnya, Jakarta tidak punya aturan pembangunan yang memperhatikan struktur tanah. Di sisi lain penyedotan air tanah dibiarkan begitu saja.
Solusi radikal
Meski pesimistis, mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan untuk mencegah Jakarta tenggelam diperlukan solusi radikal. Yakni menghentikan penyedotan air tanah. Dia pesimistis karena tidak ada perhatian ekstra dari Pemerintah DKI maupun pemerintah pusat.
Pemerintah tidak peduli dengan rekomendasi pakar. Yang diperhatikan adalah rekomendasi politik dan ekonomi. Maka pembangunan hotel, gedung, mal jalan terus meski menyedot air tanah dalam jumlah amat besar.
"DPR saja ingin membangun gedung yang besar. Taman di dekat kompleks DPR juga ingin dibangun pusat perbelanjaan," tutur Sonny.
Namun, Guru Besar Geodesi ITB Hasanuddin Abidin optimistis bisa mencegah Jakarta tenggelam dengan mengurangi penggunaan air tanah. Saat ini penggunaan air tanah di Jakarta mencapai 70%. Dia mengusulkan pencurian air tanah dikenai pasal korupsi.
Sumber: Mediaindonesia.com
Langganan:
Postingan (Atom)
Followers
Lihat Disini: